Dari
begitu banyaknya pesantren yang ada di Indonesia, kebanyakan pesantren itu
merupakan pesantren keluarga. Sebutan itu diberikan karena pada umumnya
kebutuhan fisik pesantren adalah milik keluarga. Seperti halnya tanah tempat
berdirinya bangunan, pada awalnya biasanya milik keluarga. Setelah berdiri
barulah ada orang luar yang mewaqafkan tanahnya untuk kepentingan pesantren.
Begitu pula dengan pengelolanya, dari pimpinan pondoknya (Kiyai) dan para
ustadz hampir seluruhnya berasal dari kalangan keluarga. Ketika ada bantuan
dari pihak lain maka bantuan itu praktis milik keluarga.
Ada segi baiknya jika pesantren menjadi milik keluarga, yaitu keluarga betul-betul memiliki rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap perkembangan pesantren. Selain sisi baiknya tentunya juga ada banyak kekurangan jika pesantren milik keluarga, seperti hal-hal dibawah ini :
1.
Pesantren
keluarga cenderung hanya menyadari kelebihan diri, kurang menyadari
kekurangannya.
Hal
ini wajar-wajar saja terjadi pada pesantren keluarga. Apalagi bila melihat
santrinya bertambah banyak, prestasi meningkat, asrama dan perlengkapannya
meningkat, banyak anak dari keluarga orang penting dititipkan di pesantren dan
cenderung kepercayaan masyarakat terus meningkat terhadap poendidikan pesantren
itu. Dari kesibukan mengurus kemajuan itu seringkali keluarga itu lupa
menyadari dan mempelajari segi kekurangannya. Dan bahkan ada kecenderungan
menutupi kelemahan dan kekurangannya dengan bergabagai cara.
Ada
beberapa hal yang bisa penulis sampaikan disini, untuk mengatasi kelemahan dan
kekurangan pesantren keluarga dalam hal ini, diantaranya :
1) Cobalah
mencari kelemahan diri dengan sejujur jujurnya
2) Mengundang
orang luar keluarga yang pakar, professional yang netral untuk menunjukan
kelemahan dan kekurangan pesantren. Pakar tersebut merupakan orang-orang yang
betul-betul jujur untuk menunjukan kelemahan, kekurangan pesantren.
3) Membentuk
tim penasehat atau konsultan independen yang terdiri dari satu orang ahli
agama, satu orang ahli ekonomi, satu orang ahli hukum, satu orang ahli
pendidikan dan satu orang ahli bangunan.
4) Menanamkan
karakter jujur, baik untuk pimpinan (kiyai), pengelola pesantren, para ustadz,
sehingga semua komponen ini bisa menyampaikan kelebihan dan kekurangan
pesantren secara jujur, bukan hanya menyampaikan kelebihan tetapi kekurangan
pesantren pun bisa disampaikan dengan sejujur-jujurnya.
2.
Cenderung
menutupi kelemahan yang ada
Sesuatu
yang wajar, jika pribadi memiliki ego yang besar, begitu juga dengan keluarga
cenderung memilki ego untuk mempertahankan prinsipnya. Sifat inilah yang
kemudian memunculkan kebiasaan menutupi kelemahan yang ada. Kelemahan yang
ditutupi itu barangkali berupa :
1) Kelemahan
pada kelembagaan
2) Kelemahan
pada profesionalisme pejabat dalam lembaga tersebut
3) Kelemahan
program
4) Kelemahan
pada produk
5) Kelemahan
pada integritas pribadi anggota keluarga
6) Kelemahan
pada pertanggung jawaban keuangan
Kelemahan ini ditutupi bersama-sama
dengan alasan bila terbuka akan memalukan seluruh anggota keluarga, jadi
akhirnya menutupi kelemahan ini menjadi sesuatu yang wajar dan boleh dilakukan.
Barangkali ada beberapa hal yang
mungkin berguna untuk mengatasi kelemahan ini, antara lain :
1) Hilangkan
rasa ego keluarga, renungkan kembali ide-ide semula, ide yang diamanatkan
pendiri pesantren, sesepuh pesantren.
2) Mengundang
pakar yang netral dan jujur untuk mempelajari kelemahan pesantren, kemudian
pakar tersebut menunjukan dengan jujur kelamahan yang ada untuk bisa dicari
solusinya.
3) Tanamkan
kepada keluarga rasa takut kepada Allah,
berani bertanggung jawab dan jujur.
3.
Cenderung
adanya sifat iri satu anggota kepada anggota keluarga lainnya
Sebetulnya
wajar juga, manusiawi, alamiah jika sesorang iri terhadap seseorang yang
lainnya. Begitu pula dengan anggota keluarga, satu anggota keluarga iri pada
anggota keluarga lainnya. Namun hal ini bisa menjadi sumber keretakan yang
akhirnya memicu kemunduran pesantren.
Keirian
ini bisa ditimbulkan oleh beberapa sebab, antara lain :
1) Satu
anggota keluarga memperoleh material atau penghormatan (dari dalam atau dari
luar) lebih dari satu anggota lainnya. Perolehan ini bisa mengakibatkan satu
anggota keluarga lain menafsirkan, kurang fair, kurang proporsional, kurang
adil, akhirnya timbulah iri
2) Satu
anggota keluarga lebih sukses dari
anggota keluarga lainnya.
3) Satu
anggota menduduki posisi atau jabatan yang lebih penting daripada anggota
keluarga lainnya dalam lembaga pesantren, apalagi jika poisisi itu kurang
sesuai dengan kedudukannya dalam keluarga atau kurang sesuai dengan
kemampuannya.
Mengatasi kelemahan ini amat sulit karena
sangat komplek, pokok pangkal semuanya itu biasanya karena adanya anggapan
pesantrem adalah warisan dari sesepuh, warisan itu berupa material(benda),
pekerjaan(tugas) dan cita-cita. Celakanya warisan material (benda) dan warisan
pekerjaan (tugas) seringkali kedua-duanya menghasilkan materi, posisi dalam
masyarakat dan harga diri.
Jalan keluar dari semuanya adalah
kembali sungguh-sungguh kepada ajaran agama dan pesan-pesan utama sesepuh. Yang
paling penting adalah kembali kepada cita-cita yang diamanatkan. Musyawarah
anggota keluarga berdasarkan agama menjadi sangat penting untuk keluar dari
semua ini.
Berkenaan dengan hal-hal yang menyangkut material dibutuhkan transparasi, terapkan transparasi dalam keluarga. Dalam hal jabatan atau posisi, terapkan asas profesionalisme, yang terakhir membuka diri dengan memberi kesempatan beberapa anggota dari luar keluarga sebagai pemilik pesantren yang memiliki hak suara sama dengan anggota keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar