Syamsul Bahri, S.Pd
Penulis mengambil judul ini karena
kata ini memang begitu sakti. Diambil dari pengalaman pribadi atau mungkin
teman-teman pembaca yang budiman juga mengalami hal yang sama.
Menengok ke masa kecil dulu saat
sebelum sekolah hingga masuk Sekolah Dasar, tentu banyak pengalaman atau
kejadian yang membekas dalam benak kita. Sedih, senang, ceria, gelak tawa
selalu menghiasi perjalanan kecil kita.
Dalam renungan mencoba menelusuri
jejak langkah kecil berjalan menapaki jalan, berlari menyambut pagi, dan
bersama menatap masa depan yang entah bisa tercapai ataukah akan terputus di
tengah jalan.
Semburat mentari mengawali tandanya
pagi, membawa langkah ini menuju tegaknya rumah berdiri teman-teman kami. Tidak
perlu waktu lama menanti, teman-teman kecil keluar dari tempat tinggal yang
terkadang asal. Cukup beralaskan tanah dan beratapkan jerami dan berdindingkan
bambu tersusun rapi menjadi bukti kehidupan pribumi di bumi pertiwi.
Bergerak tanpa kata-kata seakan sudah
terbiasa, yang ada hanya canda tawa berjalan menuju tanah lapang dan tibalah
permainan di mulai. Anak perempuan dengan tali karet yang tersusun rapi
membentang untuk dilewati oleh masing – masing pemain. Tak kalah juga anak
laki-laki bergerak mengais teman-teman mereka secara berpasangan untuk dibawa
lari hingga garis akhir. Permainan selalu berganti dengan yang baru, hingga
pada satu moment di antara kita ada yang menangis, yang biasanya terjadi karena
permainan mulai tidak baik, curang, dan lainnya.
Read more
Dalam kegaduhan terbagilah dua
kelompok yang saling membela. Kata-katapun terucap seraya membela teman.
“Hey…kamu nanti ta laporkan sama ayah!”. Sementara yang lain tak mau kalah
berucap lalu berkata, “kamu nanti ta laporkan sama polisi!”, “kamu juga nanti
ta laporkan sama tentara!”, “Nanti kamu ta laporkan sama Presiden!” dan satu
anak akhirnya mengeluarkan kata sakti yang membuat semua temannya terdiam.
“Nanti kamu ta laporkan sama Allah!” Seakan sudah tahu atau mengenal Allah,
semuanya tertunduk tak bisa berbicara lagi.
Allah,. . . Ya kata “Allah”, inilah kata sakti yang acap kali selalu
terucap saat kita bertengkar dengan teman sebaya kita. Ada rasa bangga, ada
rasa sesuatu yang maha segalanya menolong kita. Bahkan tak ayal segala masalah
selesai dengan diakhiri beradunya jari kelingking kita dengan kelingking teman
kita tanda bahwa kita berbaikan dan bersahabat kembali.
Beranjak dewasa dan sampailah kita
seusia sekarang. Ke manakah kata sakti itu sekarang? Apakah kita masih
menyebutkan kata sakti itu? Apakah kita masih menyebut kata sakti itu saat kita
senang atau susah?, saat kita lapang atau terhimpit?, saat kita berada di atas
atau jatuh tertindih? Di mana kata sakti itu?
Selalulah ingat dengan kata sakti
itu! Kata yang tiada bandingannya yang kelak kapan saja dan di mana saja
menolong kita dalam keadaan apapun.