MENJADI GURU YANG BELAJAR DARI ORANG YANG DIANGGAP GILA
Oleh: Tamid, S.Pd.I
Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang guru bernama
Bu Maya. Ia dikenal sebagai pengajar yang berdedikasi, tetapi juga sangat
serius dalam mengajar. Murid-muridnya sering kali merasa tertekan untuk
mencapai standar tinggi yang ditetapkan.
Di pinggiran kota, terdapat seorang pria tua
bernama Pak Amir. Ia sering dianggap "gila" oleh warga karena
perilakunya yang aneh dan cara bicaranya yang tidak biasa. Namun, di balik
penampilan dan perilakunya, Pak Amir memiliki kebijaksanaan yang mendalam.
Suatu hari, saat berjalan pulang dari sekolah, Bu
Maya melihat Pak Amir sedang duduk di bangku taman, menggambar dengan kapur
warna-warni. Rasa ingin tahunya mengalahkan keraguannya, dan ia mendekat. “Apa
yang kamu gambar, Pak Amir?” tanyanya.
“Dunia yang penuh warna,” jawab Pak Amir sambil
tersenyum. “Setiap warna punya cerita, Bu.”
Bu
Maya terkesan, tetapi ia juga merasa bingung. “Tapi, bagaimana jika gambar ini
tidak sempurna?”
Pak Amir tertawa. “Bu, sempurna itu membosankan!
Kehidupan adalah tentang menciptakan keindahan dari ketidaksempurnaan.”
Kata-kata
itu menghantui Bu Maya. Ia mulai merenungkan bagaimana ia terlalu fokus pada
pencapaian akademis dan mengabaikan keindahan dalam proses belajar. Ia mulai
sering mengunjungi Pak Amir, mendengarkan kisah-kisahnya tentang kehidupan dan
makna yang lebih dalam dari setiap pengalaman.
Dengan
berjalannya waktu, Bu Maya memutuskan untuk menerapkan apa yang ia pelajari
dari Pak Amir di kelasnya. Ia mulai mengizinkan murid-muridnya untuk
mengekspresikan diri dengan cara yang berbeda, bahkan jika itu berarti membuat
kesalahan.
Dalam salah satu pelajaran seni, Bu Maya mengajak
anak-anak untuk menggambar apa pun yang mereka inginkan, tanpa takut salah.
Murid-muridnya tampak antusias dan bersemangat, menciptakan karya yang penuh
warna dan kreativitas.
Melihat semangat dan kebebasan itu, Bu Maya
tersenyum. Ia menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tentang mematuhi aturan,
tetapi juga tentang memberi ruang untuk kebebasan berkreasi. Ia juga belajar
untuk melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan.
Suatu hari, saat kelas sedang berlangsung, Pak Amir
datang berkunjung. Ia melihat hasil karya anak-anak yang dipajang di dinding.
Dengan bangga, Bu Maya menunjukkan kepada Pak Amir dan berkata, “Saya belajar
banyak dari Anda. Ini adalah hasil dari kebebasan yang Anda ajarkan.”
Pak Amir tersenyum lebar. “Ingat, Bu Maya, kita
semua memiliki bagian gila dalam diri kita. Jangan takut untuk membiarkannya
keluar.”
Kata-kata
itu menginspirasi Bu Maya untuk terus menanamkan nilai-nilai kreativitas dan
keberanian dalam diri murid-muridnya. Sejak saat itu, sekolahnya menjadi tempat
yang tidak hanya memfokuskan pada pelajaran akademis, tetapi juga pada
pengembangan karakter dan ekspresi diri.
Dan
meskipun Pak Amir dianggap “gila” oleh banyak orang, Bu Maya tahu bahwa di
balik segala keanehan itu, terdapat kebijaksanaan yang tak ternilai. Dari sosok
yang dianggap berbeda, ia telah menemukan cara baru untuk mengajar dan
mencintai kehidupan.